Contoh Cerpen - "Di Ujung Jalan Kota Bandung"

Di Ujung Jalan Kota Bandung


            Namaku Aldy, aku kelas 2 SMA. Ketika aku sedang berjalan menuju kantin, tidak sengaja aku bertemu dengan seorang perempuan yang sangat cantik. Selama ini, definisi cantik hanya kutujukan pada ibuku, namun kali ini akan kutambahkan ia ke dalam daftar. Cinta pada pandangan pertama? Aku tidak percaya itu. Namun, saat mataku tak sengaja menatap matanya, aku langsung menabrak dinding karena melihatnya. Akupun sangat malu, tapi perasaan malu itu seakan menghilang karena melihat senyumannya yang manis. Baru aku mau bangkit berdiri, ia pun menghampiriku dan bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?”. Jantungku sontak berdebar sangat kencang, seakan aku sedang berlari.

            Satu hal yang terlintas di pikiranku setelah ia menanyakan pertanyaan seperti itu adalah lagu Coboy Junior. Liriknya yang mirip dengan kata-kata yang barusan ia sebut membuat aku ingin berkata kepadanya, “Kau bidadari jatuh dari surga.” Namun sepertinya, mentalku tak cukup kuat untuk mengutarakannya. Maklum lah, ditanya saja jantungku sudah seperti ini, apalagi gombal? Bisa-bisa sesak napas aku dibuatnya.

            Tak lama kusadari bahwa aku telah menjadi patung di hadapannya untuk waktu yang cukup lama. Ia mulai kebingungan, bingung karena diriku yang tiba-tiba diam, atau mungkin bingung karena melihat kegantengan diriku? Ah entahlah. Dengan cepat kutanggapi pertanyaannya yang tadi, ku bilang, “Aku tidak apa-apa, emm…” “Dina,” katanya. Aku balas dengan perkenalan diriku dan akupun mulai berbincang-bincang dengannya selama sisa jam waktu istirahat. Rasanya inginku perpanjang waktu istirahat ini, tak makan pun aku tak apa, asal bisa berbincang dengannya seperti ini terus. Senyumannya membuat irama degup jantungku tak beraturan, mungkin besok aku harus menemui dokter karenanya. Siapatau ada sindrom apalah dengan senyuman manis Dina? Besok akan kutanyakan pada dokter dekat rumahku.

            Hari demi hari pun lewat tanpa ku sadari. Sekarang kami menjadi dekat, seperti urat dan nadi, hahaha, tidak selebay itu sih. Namun, jika yang biasanya kami selalu bersama saat jam istirahat, kali ini tidak. Dina tidak terlihat di daerah kantin selama dua hari berturut-turut. Pantas selama ini hariku selalu mendung, ternyata karena tidak ada senyumannya yang biasanya selalu menyinari hari-hariku, ah gombalnya aku ini. Tapi, aku terus bertanya-tanya, kemana dia? Beberapa temanku mengatakan mungkin saja ia belajar di kelasnya dan tidak keluar kelas untuk makan di kantin? Siapa  tau. Akupun langsung mendatangi kelasnya untuk mencari tahu apa yang terjadi dengannya.

            Di dalam kelas pun ia tak ada. Aku takut, aku khawatir, kalau-kalau terjadi sesuatu padanya. Dengan bermodalkan motor butut dan uang 20 ribu, aku nekat untuk mendatangi rumahnya. Kosong, itulah yang pertama kali aku temui. Tidak ada lagi senyumannya yang membuatku berdebar-debar. Tidak ada lagi kata-katanya yang membuat senyumku merekah tanpa sadar. Lalu kutanyakan kemana ia dan keluarganya pergi ke teman terdekatnya.

            Bandung, satu-satunya harapanku untuk bertemu si pemilik senyuman manis itu. Suara motor bututku memecah keheningan kota Bandung. Malam ini Bandung sangat cantik, dihiasi lampu kerlap-kerlip sepanjang jalan, lagu-lagu dengan tempo lambat dinyanyikan di setiap tempat makan, para muda-mudi menghabiskan malam minggunya dengan yang terkasih, duduk mengobrol di depan tukang bakso, dan diriku, yang tengah mencari keberadaan yang terkasih milikku.

            Sudah lama aku berkeliling mencarinya, tak juga aku temukan. Aku kecewa teman terdekatnya tak mau memberiku alamat lengkap, alhasil disinilah aku sekarang, terduduk lemas di samping tukang batagor. Lelah, lapar, tak tau lagi harus kemana. Kutelpon tidak diangkat, mungkin HP-nya jatuh ke kolam dan mati, entahlah, aku tidak mau berasumsi buruk tentangnya yang tidak kunjung mengangkat telponku. Aku tidak bisa menyerah begitu saja, karena dari awal aku sudah bertekad akan menemukannya malam ini. Sesaat sebelum diriku sampai di titik menyerah, kulihat dia. Di ujung jalan kota Bandung, kulihat dirinya memakai kaos putih dengan celana jeans seadanya dan rambut panjangnya yang dengan indah tertiup angin. Juga senyumnya, yang tak pernah berhenti membuat jantungku berlari.


Dibuat oleh:
Verlyn Intan Luk 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Debat

Biografi Nur Khayati